Sabtu, 30 Juni 2012

Seri Kontra Wahabi (4): OtoritasUlama

Sumber Liberalisme
Pada tahun 2009, saya terlibat
perdebatan sengit di Surabaya
dengan seorang tokoh Salafi dari
Malang, berinisial AH. Di bagian
awal buku yang dipromosikannya
pada waktu itu, ia menulis, bahwa
madzhab al-Asy’ari merupakan
sumber pemikiran liberal. Saya
merasa heran dengan asumsi
murahan AH yang mengatakan
bahwa pemikiran liberal
sumbernya dari madzhab al-
Asy’ari. Logika dan paradigma apa
yang dijadikan barometer untuk
menilai madzhab al-Asy’ari sebagai
sumber ajaran liberal.
Seandainya ada seseorang
berpendapat bahwa ajaran Islam
itu sumber kejahatan pencurian
dan perzinahan, karena ia melihat
dalam kitab-kitab tafsir ada
beberapa ayat yang turun
berkaitan dengan sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam yang
mencuri dan berzina, apakah AH
akan menerima logika berpikir
seperti ini? Tentu saja dia tidak
akan menerima.
Seandainya AH berkomunikasi
terlebih dahulu dengan ulama-
ulama Wahhabi yang menjadi
gurunya di Saudi Arabia, mungkin
ia tidak akan menulis tuduhan keji
seperti itu. Karena para ulama
Wahhabi sendiri mengakui, bahwa
mayoritas ulama dari berbagai
bidang, seperti ahli tafsir, ahli
hadits, ahli fiqih, ahli sejarah,
gramatika dan lain-lain mengikuti
madzhab al-Asy’ari.
AH sepertinya tidak pernah
membaca sejarah bahwa para
ulama yang berhasil membabat
habis kelompok Mu’tazilah sampai
punah pada akhir abad keenam
Hijriah adalah para ulama pengikut
madzhab al-Asy’ari. Dalam sejarah
pemikiran Islam, Mu’tazilah
merupakan aliran yang dikenal
paling tangguh dan hebat dalam
arena dialog dan perdebatan.
Mu’tazilah juga dikenal sebagai
aliran yang mendahulukan akal
daripada nash (teks) al-Qur’an dan
Sunnah. Di tangan Mu’tazilah, teks-
teks al-Qur’an dan hadits menjadi
berkurang nilai sakralitasnya
karena harus dikoreksi terlebih
dahulu dengan perisai rasio dan
nalar. AH juga sepertinya tidak
tahu sejarah, bahwa ilmu filsafat
yang dianggap sebagai sumber
pemikiran liberal dalam Islam,
menjadi terkapar untuk selama-
lamanya dari ranah intelektual
kaum Muslimin setelah dibabat
habis oleh Hujjatul Islam al-Ghazali
dengan kitabnya Tahafut al-
Falasifah. Dari sini layakkah AH
menuduh madzhab al-Asy’ari
sebagai sumber ajaran liberal?
Bukankah lebih layak kalau
dikatakan bahwa liberalisme
sumbernya dari Wahhabi.
Sebagaimana dimaklumi, di antara
ciri khas liberalisme, adalah upaya
desakralisasi otoritas ulama. Ketika
pendapat dan hasil ijtihad ulama
diajukan kepada kaum liberal,
maka dengan serta merta mereka
akan menolaknya dengan alasan
para ulama juga manusia biasa
seperti halnya mereka. Kaum
Wahhabi juga demikian, ketika
pendapat dan hasil ijtihad ulama
diajukan kepada mereka, maka
sudah barang tentu mereka akan
menolaknya, dengan bahasa yang
terkadang lebih halus, “kita
kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah”. Bahasa yang
mengesankan bahwa hasil ijtihad
ulama tidak mengikuti al-Qur’an
dan Sunnah.
Memang tidak aneh kalau orang
Wahhabi seperti AH menuduh
madzhab al-Asy’ari sebagai sumber
ajaran liberal. Bukankah pendiri
aliran Wahhabi sendiri, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab al-
Najdi telah mengatakan bahwa
kitab-kitab fiqih merupakan
sumber ajaran syirik. Dalam kitab
al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah
al-Najdiyyah (kumpulan fatwa-
fatwa ulama Wahhabi sejak Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab al-
Najdi, sang pendiri aliran Wahhabi),
yang dihimpun oleh Syaikh
Abdurrahman bin Muhammad al-
Najdi al-Wahhabi, juz 3 hal. 59,
Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab mengeluarkan statemen
yang cukup ekstrem bahwa ilmu
fiqih merupakan sumber
kesyirikan. Sedangkan para ulama
fuqaha yang menulis kitab-kitab
fiqih, ia samakan dengan syetan-
syetan manusia dan jin.
Astaghfirullah.
Tidak Perlu Mengikuti Ulama
Kejadian itu agak mirip dengan
kejadian berikutnya. Suatu ketika,
saya mengisi pengajian di daerah
Kesiman Denpasar Timur Bali.
Setelah saya memaparkan tentang
dalil-dalil bid’ah hasanah dari al-
Qur’an dan hadits, lalu saya
mengutip pendapat para ulama
sejak Khulafaur Rasyidin yang
mengakui dan mengamalkan
bid’ah hasanah, tiba-tiba seorang
Wahhabi angkat bicara dengan
nada emosi. Ia berkata begini:
“Kita tidak perlu mengikuti imam
ini maupun imam itu. Kita kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah saja,
titik. Setelah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam tidak ada orang
yang perlu kita ikuti.” Demikian
perkataan orang Wahhabi tersebut
dengan suara berapi-api dan nada
suara tinggi.
Orang Wahhabi ini sepertinya tidak
tahu, bahwa yang memberikan
otoritas kepada ulama agar diikuti
oleh umat Islam adalah al-Qur’an
dan Sunnah. Ketika kita mengikuti
ulama, itu bukan berarti kita
meninggalkan al-Qur’an dan
Sunnah. Akan tetapi kita justru
mengikuti al-Qur’an dan Sunnah
sesuai dengan pemahaman para
ulama yang lebih mengerti dari
pada kita. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman dalam al-Qur’an al-
Karim:
ﻓَﺎﺳْﺄَﻟُﻮْﺍ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻻَ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮْﻥَ.
)ﺍﻟﻨﺤﻞ .(٤٣ :
“Bertanyalah kamu kepada para
ulama apabila kamu tidak
tahu.” (QS. al-Nahl: 43 dan al-
Anbiya’: 7).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an
memerintahkan kita agar bertanya
kepada para ulama ketika kita
tidak tahu. Al-Qur’an tidak
memerintahkan kita membuka-
buka lembaran-lembaran al-Qur’an
dan kitab-kitab hadits ketika kita
tidak tahu. Dalam ayat lain, Allah
subhanahu wa ta’ala juga
berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮْﺍ ﺃَﻃِﻴْﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴْﻌُﻮﺍ
ﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟﻰِ ﺍْﻷَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ. )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ :
.(٥٩
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-
(Nya) dan Ulil-Amri di antara
kamu.” (QS. al-Nisa’ : 59).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an
menuntun kita agar mengikuti Ulil
Amri. Yang dimaksud dengan Ulil
Amri dalam ayat tersebut adalah
para ulama yang mendalam
ilmunya. Dalam hadits shahih,
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
ﻋَﻦْ ﺯَﻳْﺪٍ ﺑْﻦِ ﺛَﺎﺑِﺖٍ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ:
ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻧَﻀَّﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻣْﺮَﺃً ﺳَﻤِﻊَ ﻣِﻨَّﺎ
ﺣَﺪِﻳﺜًﺎ ﻓَﺤَﻔِﻈَﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻪُ ﻏَﻴْﺮَﻩُ ﻓَﺮُﺏَّ
ﺣَﺎﻣِﻞِ ﻓِﻘْﻪٍ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﺃَﻓْﻘَﻪُ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺭُﺏَّ
ﺣَﺎﻣِﻞِ ﻓِﻘْﻪٍ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﻔَﻘِﻴﻪٍ ﻭَﻓِﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ
ﻓَﺮُﺏَّ ﻣُﺒَﻠَّﻎٍ ﺃَﻭْﻋَﻰ ﻣِﻦْ ﺳَﺎﻣِﻊٍ. ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ،(٢٥٨٠) ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ،(٣١٧٥) ﻭﺍﺑﻦ
ﻣﺎﺟﻪ ،(٢٢٦) ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ.
“Semoga Allah membuat elok pada
orang yang mendengar sabdaku,
lalu ia mengingatnya, kemudian
menyampaikannya seperti yang
pernah didengarnya. Karena tidak
sedikit orang yang menyampaikan
suatu hadits dariku tidak dapat
memahaminya.” Dalam riwayat
lain dikatakan: “Tidak sedikit orang
yang memperoleh suatu hadits dari
seseorang lebih memahami
daripada orang yang mendengar
hadits itu secara langsung
dariku.” (HR. al-Tirmidzi (2580, 2581
dan 2583), Abu Dawud (3175); Ibn
Majah (226) dan lain-lain).
Hadits tersebut menunjukkan
bahwa di antara sahabat Rasul
shallallahu alaihi wasallam yang
mendengar hadits dari beliau
secara langsung, ada yang kurang
memahami terhadap makna-
makna yang dikandung oleh hadits
tersebut. Namun kemudian ia
menyampaikan hadits itu kepada
murid-muridnya yang terkadang
lebih memahami terhadap
kandungan maknanya.
Pemahaman lebih, terhadap
kandungan hadits tersebut
menyangkut penggalian hukum-
hukum dan masalah-masalah yang
nantinya disebut dengan proses
istinbath atau ijtihad. Dari sini dapat
dipahami, bahwa di antara sahabat
Nabi shallallahu alaihi wasallam ada
yang kurang mengerti terhadap
maksud suatu hadits daripada
murid-murid mereka. Dan murid-
murid mereka yang memiliki
pemahaman lebih terhadap hadits
tadi disebut dengan mujtahid.
Mujtahid inilah yang menjadi fokus
pembicaraan dalam hadits shahih
berikut ini:
ﻋَﻦْ ﻋَﻤْﺮِﻭ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﻌَﺎﺹِ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃَﻧَّﻪُ
ﺳَﻤِﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺇِﺫَﺍ ﺣَﻜَﻢَ ﺍﻟْﺤَﺎﻛِﻢُ ﻓَﺎﺟْﺘَﻬَﺪَ ﺛُﻢَّ ﺃَﺻَﺎﺏَ
ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮَﺍﻥِ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺣَﻜَﻢَ ﻓَﺎﺟْﺘَﻬَﺪَ ﺛُﻢَّ ﺃَﺧْﻄَﺄَ
ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮٌ. ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ .(٦٨٠٥)
“Apabila seorang hakim melakukan
ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka
ia memperoleh dua pahala. Dan
apabila melakukan ijtihad, lalu
ijtihadnya keliru, maka ia
memperoleh satu pahala.” (Al-
Bukhari [6805]).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tidak semua
sahabat Nabi shallallahu alaihi
wasallam yang memiliki
penguasaan mendalam terhadap
susunan bahasa Arab mampu
mengeluarkan fatwa. Dan
kesimpulan ini akan semakin
kelihatan dengan jelas, apabila kita
perhatikan kitab-kitab mushthalah
al-hadits yang disusun oleh para
hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi
dalam bidang studi ilmu hadits), di
sana akan kita dapati bahwa para
mufti dari kalangan sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam tidak
sampai sepuluh orang. Ada yang
mengatakan hanya enam orang.
Tetapi sebagian ulama ada yang
mengatakan bahwa sekitar dua
ratus orang sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam yang
telah mencapai derajat mujtahid.
Dialog Syaikh Al-Buthi dan
Syaikh Al-Albani
Ada sebuah perdebatan yang
menarik tentang ijtihad dan taqlid,
antara Syaikh Muhammad Sa’id
Ramadhan al-Buthi, seorang ulama
Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Syria,
bersama Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, seorang
tokoh Wahhabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya:
“Bagaimana cara Anda memahami
hukum-hukum Allah, apakah Anda
mengambilnya secara langsung
dari al-Qur’an dan Sunnah, atau
melalui hasil ijtihad para imam-
imam mujtahid?” Al-Albani
menjawab: “Aku membandingkan
antara pendapat semua imam
mujtahid serta dalil-dalil mereka
lalu aku ambil yang paling dekat
terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya:
“Seandainya Anda punya uang
5000 Lira. Uang itu Anda simpan
selama enam bulan. Kemudian
uang itu Anda belikan barang
untuk diperdagangkan, maka sejak
kapan barang itu Anda keluarkan
zakatnya. Apakah setelah enam
bulan berikutnya, atau menunggu
setahun lagi?” Al-Albani menjawab:
“Maksud pertanyaannya, kamu
menetapkan bahwa harta dagang
itu ada zakatnya?” Syaikh al-Buthi
berkata: “Saya hanya bertanya.
Yang saya inginkan, Anda
menjawab dengan cara Anda
sendiri. Di sini kami sediakan kitab-
kitab tafsir, hadits dan fiqih,
silahkan Anda telaah.” Al-Albani
menjawab: “Hai saudaraku, ini
masalah agama. Bukan persoalan
mudah yang bisa dijawab dengan
seenaknya. Kami masih perlu
mengkaji dan meneliti. Kami
datang ke sini untuk membahas
masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut,
Syaikh al-Buthi beralih pada
pertanyaan lain: “Baik kalau
memang begitu. Sekarang saya
bertanya, apakah setiap Muslim
harus atau wajib membandingkan
dan meneliti dalil-dalil para imam
mujtahid, kemudian mengambil
pendapat yang paling sesuai
dengan al-Qur’an dan Sunnah?” Al-
Albani menjawab: “Ya.” Syaikh al-
Buthi bertanya: “Maksud jawaban
Anda, semua orang memiliki
kemampuan berijtihad seperti
yang dimiliki oleh para imam
madzhab? Bahkan kemampuan
semua orang lebih sempurna dan
melebihi kemampuan ijtihad para
imam madzhab. Karena secara
logika, seseorang yang mampu
menghakimi pendapat-pendapat
para imam madzhab dengan
barometer al-Qur’an dan Sunnah,
jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya
manusia itu terbagi menjadi tiga,
yaitu muqallid (orang yang taklid),
muttabi’ (orang yang mengikuti)
dan mujtahid. Orang yang mampu
membandingkan madzhab-
madzhab yang ada dan memilih
yang lebih dekat pada al-Qur’an
adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu
derajat tengah, antara taklid dan
ijtihad.” Syaikh al-Buthi bertanya:
“Apa kewajiban muqallid?” al-
Albani menjawab: “Ia wajib
mengikuti para mujtahid yang bisa
diikutinya.” Syaikh al-Buthi
bertanya; “Apakah ia berdosa
kalau seumpama mengikuti
seorang mujtahid saja dan tidak
pernah berpindah ke mujtahid
lain?” al-Albani menjawab: “Ya, ia
berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil
yang mengharamkannya?” Al-
Albani menjawab: “Dalilnya, ia
mewajibkan pada dirinya, sesuatu
yang tidak diwajibkan Allah
padanya.” Syaikh al-Buthi
bertanya: “Dalam membaca al-
Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya
siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah
Hafsh.” Al-Buthi bertanya: “Apakah
Anda hanya mengikuti qira’ah
Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda
mengikuti qira’ah yang berbeda-
beda?” Al-Albani menjawab: “Tidak.
Saya hanya mengikuti qira’ah
Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya:
“Mengapa Anda hanya mengikuti
qira’ah Hafsh saja, padahal Allah
subhanahu wa ta’ala tidak
mewajibkan Anda mengikuti
qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda
justru membaca al-Qur’an sesuai
riwayat yang datang dari Nabi
shallallahu alaihi wasallam secara
mutawatir.” Al-Albani menjawab:
“Saya tidak sempat mempelajari
qira’ah-qira’ah yang lain. Saya
kesulitan membaca al-Qur’an
dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang
yang mempelajari fiqih madzhab
al-Syafi’i, juga tidak sempat
mempelajari madzhab-madzhab
yang lain. Ia juga tidak mudah
memahami hukum-hukum
agamanya kecuali mempelajari
fiqihnya Imam al-Syafi’i. Apabila
Anda mengharuskannya
mengetahui semua ijtihad para
imam, maka Anda sendiri harus
pula mempelajari semua qira’ah,
sehingga Anda membaca al-Qur’an
dengan semua qira’ah itu. Kalau
Anda beralasan tidak mampu
melakukannya, maka Anda harus
menerima alasan
ketidakmampuan muqallid dalam
masalah ini. Bagaimanapun, kami
sekarang bertanya kepada Anda,
dari mana Anda berpendapat
bahwa seorang muqallid harus
berpindah-pindah dari satu
madzhab ke madzhab lain, padahal
Allah tidak mewajibkannya.
Maksudnya sebagaimana ia tidak
wajib menetap pada satu madzhab
saja, ia juga tidak wajib berpindah-
pindah terus dari satu madzhab ke
madzhab lain?” Al-Albani
menjawab: “Sebenarnya yang
diharamkan bagi muqallid itu
menetapi satu madzhab dengan
keyakinan bahwa Allah
memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban
Anda ini persoalan lain. Dan
memang benar demikian. Akan
tetapi, pertanyaan saya, apakah
seorang muqallid itu berdosa jika
menetapi satu mujtahid saja,
padahal ia tahu bahwa Allah tidak
mewajibkan demikian?” Al-Albani
menjawab: “Tidak berdosa.” Syaikh
al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku
yang Anda ajarkan, berbeda
dengan yang Anda katakan. Dalam
buku tersebut disebutkan,
menetapi satu madzhab saja itu
hukumnya haram. Bahkan dalam
bagian lain buku tersebut, orang
yang menetapi satu madzhab saja
itu dihukumi kafir.” Menjawab
pertanyaan tersebut, al-Albani
kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara
Syaikh al-Buthi dengan al-Albani,
yang didokumentasikan dalam
kitab beliau al-Lamadzhabiyyah
Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at
al-Islamiyyah. Dialog tersebut
menggambarkan, bahwa kaum
Wahhabi melarang umat Islam
mengikuti madzhab tertentu dalam
bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut,
sebenarnya upaya licik mereka
agar umat Islam mengikuti
madzhab yang mereka buat
sendiri. Tentu saja mengikuti
madzhab para ulama salaf, lebih
menenteramkan bagi kaum
Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan
keshalehan ulama salaf jelas
diyakini melebihi orang-orang
sesudah mereka.
Hadits Ikhtilaf Ummati
Rahmatun
Dalam tradisi bermadzhab,
perbedaan pendapat merupakan
sebuah keniscayaan dan termasuk
khazanah kekayaan fiqih kaum
Muslimin. Dewasa ini, seiring
dengan merebaknya aliran
Wahhabi, yang cenderung
memaksakan pendapatnya
kepada orang lain agar diikuti,
disebarluaskan wacana bahwa
mengikuti madzhab fiqih yang ada
merupakan salah satu bentuk
kesyirikan dan dilarang dalam
agama. Demikian asumsi mereka.
Dalam sebuah diskusi di Mushalla
al-Fitrah, Monang Maning Denpasar,
ada seorang Wahhabi melakukan
protes dengan berkata: “Ustadz,
kita tidak perlu mengikuti ulama
atau para imam madzhab.
Bukankah para imam madzhab itu
pendapatnya berbeda-beda.
Ustadz harus mengetahui bahwa
hadits ikhtilafu ummati rahmatun
(perbedaan umat Islam itu
merupakan rahmat Allah) itu hadits
mursal yang kualitasnya lemah
atau dha’if”. Demikian pernyataan
orang Wahhabi tadi yang
belakangan diketahui berinisial HA.
Pada waktu itu saya menjawab:
“Memang hadits ikhtilafu ummati
rahmatun, termasuk hadits dha’if.
Akan tetapi substansinya terdapat
dalam hadits-hadits yang shahih.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya dari Ibn Umar
radhiyallahu ‘anhu yang berkata:
“Sepulangnya dari peperangan
Ahzab, Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
ﻻَ ﻳُﺼَﻠِّﻴَﻦَّ ﺃَﺣَﺪٌ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮَ ﺇِﻻَّ ﻓِﻲ ﺑَﻨِﻲ ﻗُﺮَﻳْﻈَﺔَ.
ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ .(٨٩٤)
“Jangan ada yang shalat Ashar
kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah.” (HR. al-Bukhari [894]).
Sebagian sahabat ada yang
memahami teks hadits tersebut
secara tekstual, sehingga tidak
shalat Ashar–walaupun waktunya
telah berlalu– kecuali di tempat itu.
Sebagian lainnya memahaminya
secara kontekstual, sehingga
mereka melaksanakan shalat
Ashar, sebelum tiba di
perkampungan yang dituju. Ketika
Nabi shallallahu alaihi wasallam
menerima laporan tentang kasus
ini, beliau tidak mempersalahkan
kedua kelompok sahabat yang
berbeda pendapat dalam
memahami teks hadits beliau.” (HR.
al-Bukhari [894]). Berkaitan dengan
hal tersebut Sayidina Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
ﺟَﻠَﺪَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴﻦَ،
ﻭَﺟَﻠَﺪَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴﻦَ، ﻭَﻋُﻤَﺮُ ﺛَﻤَﺎﻧِﻴﻦَ،
ﻭَﻛُﻞٌّ ﺳُﻨَّﺔٌ، ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺃَﺣَﺐُّ ﺇِﻟَﻲَّ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
(٣٢٢٠) ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ .(٣٣٨٤)
“Nabi mendera orang yang minum
khamr sebanyak empat puluh kali.
Abu Bakar mendera empat puluh
kali pula. Sedangkan Umar
menderanya delapan puluh kali.
Dan kesemuanya adalah sunnah.
Akan tetapi, empat puluh kali lebih
aku sukai.” (HR. Muslim (3220) dan
Abi Dawud (3384).
Dalam hadits ini, Ali bin Abi Thalib
menetapkan bahwa dera empat
puluh kali yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dan Abu Bakar, sedang
dera delapan puluh kali yang
dilakukan oleh Umar kepada orang
yang minum khamr, keduanya
sama-sama benar. Hadits ini
menjadi bukti bahwa perbedaan
pendapat di antara sesama
mujtahid dalam bidang fiqih, tidak
tercela, bahkan eksistensinya
diakui berdasarkan hadits tersebut.
Seorang ulama salaf dari generasi
tabi’in, al-Imam al-Qasim bin
Muhammad bin Abu Bakar al-
Shiddiq berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺍﺧْﺘِﻼَﻑُ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭَﺣْﻤَﺔً ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ.
“Perbedaan pendapat di kalangan
sahabat Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam
merupakan rahmat bagi
manusia.” (Jazil al-Mawahib, 21).
Khalifah yang shaleh, Umar bin
Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu juga
berkata:
ﻣَﺎ ﺳَﺮَّﻧِﻲْ ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏَ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟَﻢْ ﻳَﺨْﺘَﻠِﻔُﻮْﺍ ﻷَﻧَّﻬُﻢْ ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ
ﻳَﺨْﺘَﻠِﻔُﻮْﺍ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﺭُﺧْﺼَﺔٌ.
“Aku tidak gembira seandainya
para sahabat Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam tidak
berbeda pendapat. Karena
seandainya mereka tidak berbeda
pendapat, tentu tidak ada
kemurahan dalam agama.” (Jazil
al-Mawahib, 22).
Paparan di atas menyimpulkan
bahwa perbedaan pendapat di
kalangan sahabat telah terjadi
sejak masa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam. Dan ternyata
perbedaan tersebut dilegitimasi
oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dan menjadi rahmat bagi
umat Islam sebagaimana diakui
oleh ulama salaf yang saleh.
Wallahu a’lam.”
==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan
Wahhabi” karya Ust. Muhammad
Idrus Ramli, alumni Pondok
Pesantren Sidogiri tahun
1424/2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar